Rabu, 16 September 2009

PICK YOUR TOOL...

24 Agustus malam. Pesan singkat masuk ke HP dan terbaca: mohon datang jam 08.30 untuk latihan dulu. Saya, yang tidak memiliki keahlian mendongeng dan memiliki cerita sangat terbatas tentu menjadi bersemangat : ada tambahan pengetahuan (mendongeng) menunggu, esok pagi!.

Saya, jujur, tak punya keahlian menyenangkan anak-anak. Menyadari hal ini, jauh jauh hari saya meminta teman yang diketahui pandai bercerita bahkan pernah menjuarai ajang mendongeng untuk bergabung. Pengalaman apapun darinya, pasti akan sangat membantu saya. Dan, seperti biasa, saya mengajak ”tim tambahan” berjaga jaga jika tak banyak teman yang bisa hadir padahal kami membutuhkan banyak personel untuk format ”move from bed to bed” yang bisa kapan saja dibutuhkan.

Jadilah di pagi yang disepakati, kami (Erika, Nurul, Saya, Wati (tim supporter) Rani dan Eli) bertemu di ruang tunggu bawah. Kami berlatih cerita ”udang bengkok” dengan menggunakan alat bantu hand puppet, ”kadal dan ular” dengan menggunakan kalung tali sebagai alat bantu, ”Pengembara” yang menggunakan alat bantu koran bekas. Benar dugaan saya, pengetahuan saya bertambah dengan mengetahui bahwa banyak items dapat digunakan sebagai alat bantu.

Saya jadi teringat buku yang baru saja saya baca : Neuro Linguistic Programming[1] bahwa bahasa tubuh mengambil porsi terbesar (55%) dalam berkomunikasi, tekanan/ nada suara 38% dan kata kata 7%. Yup, tak usah terlalu banyak kata yang diperlukan dalam berkomunikasi. Dan, kami membuktikannya dengan banyak alat peraga yang ternyata, dapat memakai media apa saja. Di masing-masing cerita akan terlihat bagaimana alat yang sederhana dapat menarik perhatian adik adik yang sedang kurang sehat ini.

Saat itu, ada seorang campers (camera person) dari Elshinta TV – sebuah saluran TV yang masih mencoba tayang meliput kami. Tak ada peristiwa yang istimewa terjadi sampai saya tiba di pinggir tempat tidur Raka, 3.5 th ketika tiba saatnya kami harus bercerita dari tempat tidur ke tempat tidur. Raka menolak dibacakan cerita ketika saya tawari apakah dia bersedia mendengarkan dongeng. Tak lelah, saya tawarkan bermacam cerita dari buku –buku yang sengaja saya siapkan dari rumah.

”Raka tau kuda?, gimana bunyinya, sayang?”. ”Cerita mobil mau? Raka suka cerita mobil?”, tanya saya dengan semangat sampai terdengar bisikan ibunya :” Raka nggak bisa liat, bu”. Dengan perasaan prihatin, saya usap kaki mungil nya. Dan ibunya mulai bercerita. Saya, yang tak tahu lagi harus berbuat apa cukup tahu diri untuk menyediakan waktu mendengar sang ibu bercerita. Saya berfikir, saya sedang (paling tidak, sedikit) membantu sang ibu. Ternyata saya keliru. Dua kali. Di tempat yang sama.


Pertama, karena saya menawarkan cerita pada Raka. Keliru?. Ya, besar. Karena menurut Ibu Murti yang kebetulan hadir dan mendapati saya menawarkan cerita, jangan tawarkan pilihan pada anak anak untuk sesuatu yang seharusnya dia dapatkan. Mendongeng, misalnya, ceritakan saja langsung apa yang ingin dibacakan, dan jangan gunakan pendekatan ”tawar menawar” mau dongeng atau tidak. Pilihan hanya berlaku untuk tawar menawar cerita ini atau cerita itu, dan bukannya ”mau didongengi atau tidak”. Di dongengi jadi keharusan disini. Isi dongeng? Itu yang bisa ditawar.

Kedua, karena saya mendengarkan cerita sang ibu, didekat sang anak. Cerita ibu akan didengar sang anak dan dapat menambah penderitaan anak. Lain halnya, jika ”interview” pada ibu dilakukan jauh dari sang anak. Alih alih mengurangi beban sang ibu, mendengarkan cerita ibu makan menambah ”sakit” sang anak...

Untuk cerita, sebenlum menutupnya dengan membacakannya dari tempat tidur ke tempat tidur, mengajari origami dan mengajak menyanyi, kami secara tim menyajikan cerita berikut:

Udang bengkok

Menggunakan alat peraga hand puppet, masing-masing memegang peranan sebagai sang ikan yang sedang berladang danmenunggu salah satu diantara mereka memasakkan makan siang. Sebagai rahasia, sebelum menyalakan kompor, masing masing ikan selalu masuk dalam panci masakan mereka dan bertelur didalammnya untuk kemudian keluar dan menyalakan tungku. Tak demikian dengan si udang yang merasa benar dengan caranya sendiri : menyalakan tungku, memasukkan dirinya dalam tungku, dan...menjadi bengkok, kemudian mati.

Cerita Kadal dan Ular

Menggunakan alat bantu kalung tali dan jari yang menceritakan kadal yang dililit ular. Ketika lilitan makin mengencang, dengan satu sentakan mak lilitan lepas, maka lepas juga tali yang melilit jari dan terlempar mengenai anak-anak. Cukup menghibur karena adik adik tak menyangka akan mendapat kejutan : tali lepas mengenai mereka.

Pengembara

Menggunakan alat bantu koran bekas yang dilipat untuk memvisualkan gunung, topi, tongkat, gelas, kupu2, kipas yang ditemui/ dibutuhkan si pengembara dalam perjalannya melintas gunung. Dan ketika si pengembara terjatuh dan terkilir sehingga tak lagi dapat melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, tiba2 ”ting!” terdapatlah origami pesawat yang akan membawanya pulang. Pesawat sengaja langsung diterbangkan kearah pengembara dengan mengarahkannya ke salah satu anak yang dirasa cukup ”kuat” menerima kejutan ringan pendaratan pesawat tersebut.


[1] Introducing NLP, Joseph O’Connor & John Seymor, Element Publisher 2002, hal. 18

Tags: | Edit Tags

Monday September 10, 2007 - 03:19am (PDT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar