Minggu, 27 September 2009

DOKTER

Seperti apakah dokter yang ideal?. Tulisan ini mengenai kekecewaanku terhadap beberapa dokter yang pernah kutemui secara pribadi.

Ibuku pernah dipaksa ( benar2 dipaksa) oleh seorang dokter syaraf di rumah sakit dekat rumah, untuk diperiksa. Hal ini bermula ketika suatatu sabtu, ibu periksa ke dokter penyakit dalam (PD) langganannya. Ibu menderita diabetes sejak belasan tahun lalu dan kami rutin membawa beliau kontrol. Ada saat2 dimana yang ditemui hanya dokter PD saja, ada kalanya harus ke dokter jantung, ke dokter gizi, dokter kulit, dokter syaraf - tergantung perkembangan kesehatan ibu saat itu. Nah, suatu ketika, ibu menderita gatal2 di tangan yang menurut dokter PD akan di rujuk ke dokter SpKK. Setauku, dokter ybs biasa berada diruang tsb. Krn nggak ada pasien yang nunggu dkt ruang tsb, aku langsung masuk, serahkan medical record.

Ternyata di dalam terdapat dokter syaraf yang juga kukenal. Langsung aku minta maaf dan bialng salah masuk kamar. Dokter tergesa2 berdiri dan menarik ibu untuk diperiksa, walaupun saya sdh menerangkan salah kamar, dan kami mencari kamar dokter Penyakit kulit untuk gatal2 ditangan kanan ibu.

Ibu akhirnya duduk, setelah dokter menarik tangan beliau n bilang : keliatan dari jalannya, kalo ibu kena syaraf - dan mendudukan ibu untuk di test kakinya. Namun kemudian aku berkata tegas pada dokter sambil mengajak ibu pergi : " Kami dirujuk profesor untuk kedokter kulit (saya sebutkan nama dokter kulit) dan skrng beluiau menunggu kami. Terimakasih, dok!.

Dan, keluhan terhadap dokter juga aku alami sendiri. Baru2 ini.

Dokter tempat saya menjalani pengobatan alternatif.

Disalah satu pertemuan kami, aku bilang untuk bekam tambah lama berasa tambah sakit, dan aku minta ijin untuk pakai surgical blade instead of using lancet. Beliau setuju.

Asal syar'i, katanya.

Dan aku berpindah tempat bekam. sampai bbrp minggu lalu ketika terapisku telpon dokter nanya keadaan dr sisi medis, dijawab dengan sangat formal, untuk tidak menyebutnya jaim, dokter malah emphasize di penggunaan surgical blade yang dipakai terapisku. Sampai telpon berakhir, yang di "diskusikan" ya cuma itu. Terapis ku nggak dapet informasi ttg keadaan medis.

Kedua, "kebiasaan dokter" yang suka "membela diri". "harus rajin, 1 kali seminggu bekam, bukan 2 kali seminggu". Padahal sebelumnya beliau menyarankan 2 kali seminggu dan baru bbrp bln kemudian minta 1 kali seminggu. Juga ttg keluhanku terhadap perhatian mbak ku yang ternyata "sdh sms dengan dokter" dan waktu ku konfirmasi, dokter bilang : kok obatnya banyak?" - dan aku bilang ke mbak ku ttg kesulitanku minum ramuan yang banyak, di sangkanya aku "marah", diulang di depan pasien lainnya ketika memberikan bungkusan2 herbs gratis darinya. "Masih marahan"?. Diulang lg ketika aku sms mengeluhkan sakit pinggang dng kalimat terakhir balasannya dengan "sudah akuran?".

Ketiga, waktu aku ngrasa mengalami perubahan kesehatan yang kurang baik, dan sms dokter apakah yang kurasa masih termasuk normal, dijawabnya dgn : nanti kalo ane kasih tau kamu malah cemas.

Keempat, ketika pada pertemuan sebelum terakhir kali ( bln lalu), dokter bilang " saya br nonton TV, ada pohon jombang, dan menyarankan untuk aku mengkonsumsi itu. Mbak ku, spt biasa, pontang panting cari herbs tsb. (Makasih, mbak). Aku cuma berdoa, jangan sampai dojter dengar/liat ini itu dan langsung menyarankan untuk ganti ( soalnya, baru aja komposisi herbs nya berubah, padahal belum sebulan ganti kalau tak salah)

Kelima, ketika tiba2 beliau sms untuk menyarankan apakah mau pengobatan anti estrogen "tamoxifen". Aku jawab mau, dan ku sms lagi, bgmn dgn teknis pengobatannya, apa efek sampingnya. Beliau menyarankan untuk aku search ttg itu.

Ketika beliau tanya gmn ttg tamoxifen dan aku sms panjang lebar ttg efek samping serta menyanyakan (jgn sampe kita juga yang suruh nyari, maksudku), ku sms efek samping nya dan ksh tau aku blm tau harganya (cukup mahal, ternyata), aku sms dokter : nanti saya akan dapat resepnya kan, dok?

Nggak dibales smp skrng krn thibbun nabawi emang nggak ngluarin resep ke apotik. (bbrp apotik tempat teman bekerja - and own it), menyatakan nggak mneyediakan obat tsb. Jd, begitu saja sarannya? Hanya disarankan dan diminta cari sendiri? rasanya ini bukan pendidikan kesehatan yang baik.

Telpon kedua, ketiga dan sms kedua, ketiga dari terapisku juga nggak berbalas, sampai terapisku bertanya : mungkin dulu diangkat krn ga tau telpon dr siapa ya mbak? skrng udah tau, nggak diangkat2". Di sms juga nggak dibales.

Pertanyaan awal kembali menyeruak :

Seperti apakah dokter yang ideal?

Jika anda menanyakannya padaku, maka akan kujawab :

1. Aku setuju dengan 5 star health proffesional yang dikeluarin sejak th 94 oleh WHO - badan kesehatan dunia : bahwa tenaga kesehatan hrs a. Care provider, decision maker, health advisor and community leader, team member, communicator.

WHO sadar, dokter bukan hanya sbg agent of treatment yang hanya mengobati orang sakit saja, tapi juga agent of change dan agent of development. Menurutku, mestinya, semua dokter tau itu.

Aku mengidamkan dokter yang tindakannya didasarkan atas niatan yang luhur, yang memiliki sisi kemanusiaan sbg hamba dan khalifah dan memberikan yang terbaik dalam setiap pengabdiannya, yang bisa membuat semua orang tersenyum (lega) kembali. Dan membuat dokter tersebut juga tersenyum kembali krn telah menolong orang lain.

Alhamdulillah aku menemukannya

Alhamdulillah….

Tags: | Edit Tags

Thursday August 14, 2008 - 10:32pm (PDT)

1 komentar: