Rabu, 16 September 2009

BAPAK TERSAYANG (2)

Tapi Bapak memang hebat. Hal ini juga yang membuat kami setelah besar - buat kami heran. Sebagai wartawan saat itu, gaji Bapak tentu pas pasan. Apalagi waktu kami beranjak besar dan masih membutuhkan banyak biaya, Bapak sudah memasuki masa pensiun. Aku dan mbak2 sempat berkalkulasi dengan pensiun janda yang didapat ibu, kami mengira ngira berapa gaji yang diperoleh Bapak ketika masih aktif. Dan kemudian, terheran2 dengan gaji sekian masih mampu membelikan kami macam2 keperluan ekstra : kaset2 cerita, kaset anak2 yang buanyak, buku2, majalah2, malahan masih mampu memasukkan kami ke tempat2 ekstra kurikuler yang baik (olahraga, ngaji, musik, menari, pramuka), bahkan nonton film2 masa itu macam Heintje yang kami tonton juga jilid2 lanjutannya ke Bioskop, rekreasi ke pantai, rajin dibawa berenang (wah kalo mau tau gimana pertama kali kita ngenal kolam renang langsung water trappen.... – belajar berenang sejak kecil banyak manfaatnya – disaat temen2 masing dipegangi perutnya oleh guru olahraga di SMP dan SMA, aku udah nyebur dan meluncur di kolam yang dalem, selamat dari ”pegangan” pak guru.. hi....) Hal yang sangat jarang dilakukan teman2 di komplek kami saat itu. Masih ditambah oleh Ibu dengan memanjakan kami dengan masakan2 nya yang enak2 dan sulit (bahkan menurut kami sekarang) : ayam kodok, bandeng isi, dan masakan2 kelas resto lainnya...

Waktu kecil, kami semua aktif dikenalkan berbagai macam kegiatan. Bapak sendiri adalah mabigus di gugus depan pramuka di kompleks kami. Rumah kami sempat dijadikan ”pos” kegiatan2 ke pramukaan. Sejak kecil kami semua dikenalkan dengan kegiatan : pramuka dan menari jawa klasik. Diluar kegiatan harian : sekolah dasar di sasta pagi, dan siangnya sekolah agama di sekolah depan rumah kami. Setelah agak besar aku dan adikku Yanto dimasukkan ke dalam kelas renang klub Mulya di Bulungan. Dulu, kami berenang di waktu yang sama dengan Elsa Mayora dari klub Baruna, dan melihatnya berenang membuat kami tak heran ketika mendengar Elsa menjuarai bbrp kejuaraan nasional. Agak besar lagi, sekitar kelas 5 SD kami dimasukkan ke kelas musik Bina Musika dengan membeli beberapa peralatan musik ( mbak2 ku yang lebih tua : Mbak Dani dan Mbak Djanti) di kursuskan piano dirumah, dan kami bertiga lainnya dimasukkan ke Bina Musika di jalan Kimia Jakarta Pusat. Bapak dan ibulah yang mengantar kami setiap kali kami les. Bayangkan ketika itu kami beriringan dengan helicak/bemo/bajaj dari manggarai ke Jl. Kimia (deket Kedutaan Polandia). Pianika ku pernah ketinggalan di bajaj dan Bapak nggak marah dengan keteledoranku, bahkan beberapa hari kemudian, pianika baru tersedia dirumah. Dan aku merasa begitu menyesal krn tau Bapak pasti bersusah payah mendapatkan uang penggantinya.

Aku, sekecil itu udah tau Bapak berpayah payah cari uang?.

Ya. Begini. Kami sekeluarga sering diajak Bapak ibu ke toko buku dan kadang dipilihkan buku untuk kami ringkas dan re tell ke saudara yang lain. Keuntungannya adalah ketika kami SD dan mendapatkan tugas merangkum buku, kami sudah punya ”review”nya hasil karya kami atau mbak2 yang ku contek. ”Kerugiannya” adalah kami jadi seperti ”haus” terus. Suatu ketika aku butuh buku ( lupa itu buku cerita atau buku sekolah). Intinya, buku itu sangat kuinginkan. Bapak bilang nggak bisa dibeli sekarang, bisa nunggu 2 – 3 minggu lagi?. Dan beberapa minggu kemudian aku diajak Bapak ke salah satu redaksi surat kabar untuk mengambil honor penulisan serta menyerahkannya sambil bilang : Nih, untuk buku yang pingin kamu punya. Tentu aku terkagum2 dengan Bapak. Wahhh... bapak bisa memenuhi keinginanku walaupun nggak harus saat itu.

Dari situ, aku belajar bagaimana perencanaan penting dilakukan, karena nggak semua yang kita inginkan bisa kita dapat dengan sesaat. Bapak juga sering mbawa aku ke tempatnya kerja, di Gedung Lama Antara. Malem2, aku di pakein jaket dan naik bis ke kantor Bapak, liat Bapak kerja. Krn telex yang ditunggunya dari luar negeri datang malam hari. Saat itu aku baru tau kalo di sini malem, di Amerika siang/pagi, kebalikan dengan kami disini. Saat itu juga th 70an aku udah tau cara kerja telex yang tiba2 masuk mengagetkan aku yang sdg tidur di kursi: ”Ini, namanya mesin telex. Ada berita yang masuk”, kata Bapak pelan. Dan aku, dengan mata kecilku terkagum kagum liat kertas keluar dari mesin yang jauh lebih besar dari mesin2 ketik kepunyaan Bapak dirumah. Dari mesin itu, dengan suara tek tek tek tek...keluar kertas dengan tulisan yang nggak sempet kuliat.

Tags: | Edit Tags

Wednesday October 10, 2007 - 03:31am (PDT)

1 komentar:

  1. Thanks for sharing Nit !!!:) what a happy childhood you have..... Blessed your heart dear...

    BalasHapus